Perjalanan dalam kota di Jakarta membuat saya lebih punya waktu
memperhatikan keadaan sekitar. Penumpang Trans Jakarta yang mengantuk,
bergelantungan, memakai earphone dari iPod maupun ponsel, dan
pengguna jalan lain yang ada di sekitar bus Trans Jakarta. Saya lalu
berpikir dan membayangkan. Bagaimana perilaku masing-masing orang itu
apabila sakit? Ke pelayanan kesehatan mana mereka akan pergi?
Apakah masing-masing dari mereka mempunyai jaminan pemeliharaan
dan/atau pembiayaan kesehatan? Apabila mereka pergi ke rumah sakit,
nilai-nilai apa saja yang mereka harapkan? Apakah mereka tahu bahwa di
Kuningan, di gedung Kementerian Kesehatan, ada satu ruang kecil yang
dipakai oleh sekumpulan orang yang menyebut diri mereka Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang bertugas mengawasi dan menetapkan
mutu pelayanan rumah sakit?
Republik Indonesia, yang merdeka sejak tahun 1945 dengan lebih dari
dua ratus lima puluh juta penduduk, mempunyai tak kurang dari seribu
enam ratus lima puluh rumah sakit. Untuk mengatur rumah sakit sebanyak
itu, terbitlah undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Dalam undang-undang tersebut diamanatkan adanya syarat mutu akreditasi
rumah sakit oleh lembaga independen yang menjadi syarat perpanjangan
ijin operasional rumah sakit. Setiap rumah sakit, tanpa kecuali, harus
melalui proses akreditasi dan bila dinyatakan lulus baru dapat
memperpanjang ijin operasionalnya.
Akreditasi di Indonesia, berarti pengakuan pemerintah bahwa rumah
sakit tersebut telah memenuhi standar mutu tertentu. KARS, sejak tahun
1995 telah menetapkan adanya tiga jenjang kelengkapan akreditasi mulai
dari 5 (lima) pelayanan, 12 (dua belas) pelayanan, dan 16 (enam belas)
pelayanan. Setiap rumah sakit dapat memilih sesuai dengan kebutuhan dan
kekuatannya sendiri. Setelah disurvei, rumah sakit dapat saja lulus
penuh, lulus bersyarat, atau tidak lulus. Akreditasi model ini berbasis
kepada performa unit kerja. Diharapkan dengan integrasi unit-unit kerja
yang masing-masing memenuhi standar, performa rumah sakit dapat
meningkat dan memenuhi standar yang ditetapkan KARS.
Salah satu masalah yang mengikuti adalah sudahkah KARS sebagai
lembaga “independen” yang mengurus akreditasi ini diakreditasi oleh
badan pengawas mutu yang lebih kompeten? Pertanyaan berikutnya adalah
apakah pasien sebagai pengguna jasa rumah sakit merasakan manfaat
akreditasi rumah sakit?
Jawabannya adalah belum. KARS akan diakreditasi oleh lembaga
internasional yang mengurus mutu pelayanan kesehatan pada tahun 2013.
Tidak banyak sebenarnya yang diharapkan oleh pasien dan masyarakat
terhadap pelayanan rumah sakit. Mereka mengharapkan pelayanan yang
terjangkau, manusiawi, dan (ini yang sulit) menyembuhkan. Akreditasi
rumah sakit, sebagai alat menjaga mutu tidak otomatis mempertemukan
kepentingan regulator, kepentingan manajemen rumah sakit, dan harapan
pasien.
Dua hal inilah yang saya rasa mendasari KARS untuk membuat standar
baru untuk akreditasi rumah sakit yang akan dipakai mulai awal tahun
2012. Pedoman baru ini berdasarkan pada standar akreditasi rumah sakit
dari Joint Committee International yang secara luas diterima di
dunia. Standar baru akreditasi rumah sakit tidak lagi berdasarkan enam
belas unit/satuan kerja yang ada di rumah sakit, namun dibagi menjadi
dua kelompok standar dan dua kelompok sasaran. Standar baru ini
menyoroti proses, sementara standar lama lebih menggarisbawahi pada outcome dan siklus PDCA.
Standar baru dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok standar
pelayanan berfokus pada pasien dan kelompok standar manajemen rumah
sakit dan dua sasaran yaitu sasaran keselamatan pasien rumah sakit dan
sasaran millennium development goals.
Standar pelayanan berfokus pada pasien terbagi menjadi tujuh bab,
yaitu (1) akses ke pelayanan dan kontinuitas pelayanan (APK; (2) hak
pasien dan keluarga (HPK); (3) asesmen pasien (AP); (4) pelayanan pasien
(PP); (5) pelayanan anestesi dan bedah (PAB); (6) manajemen dan
penggunaan obat (MPO); dan (7) pendidikan pasien dan keluarga (PPK).
Standar manajemen rumah sakit terbagi menjadi enam bab, yaitu (1)
penungkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP); (2) pencegahan dan
pengendalian infeksi (PPI); (3) tata kelola, kepemimpinan, dan
pengarahan (TKP); (4) manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK); (5)
kualifikasi dan pendidikan staf (KPS); dan (6) manajemen komunikasi dan
informasi (MKI).
Sasaran keselamatan pasien rumah sakit terbagi menjadi enam sasaran,
yaitu (1) sasaran ketepatan indentifikasi pasien; (2) sasaran
peningkatan komunikasi yang efektif; (3) peningkatan keamanan obat yang
perlu diwaspadai; (4) kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat
pasien operasi; (5) pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan; dan (6) pengurangan resiko pasien jatuh.
Sasaran millennium development goals terbagi menjadi tiga
sasaran, yaitu (1) penurunan angka kematian bayi dan peningkatan
kesehatan ibu; (2) penurunan angka kesakitan HIV/AIDS; dan (3) penurunan
angka kesakitan tuberkulosis.
Bagaimana implementasi standar-standar baru tersebut? Mohon bersabar sampai tulisan berikutnya.
Disusun oleh dr. Robertus Arian D. (Ketua Pokja Pelayanan Medis RS Panti Rapih pada survei akreditasi 16 pelayanan 2009-2010).
No comments:
Post a Comment